Rabu, 24 September 2008

Keluarga Kalla Jajaki Bisnis Mobil Cina

Jakarta:Adik bungsu Jusuf Kalla, Suhaelly Kalla, terjun ke bisnis mobil produksi Cina. Suhaelly dengan perusahaan PT IGC International menjadi distributor mobil merek Geely di Indonesia.

Menurut Suhaelly, keterlibatan dalam bisnis mobil Cina karena peluangnya cukup menarik. Geely mampu menghasilkan produk yang kompetitif dengan harga lebih murah. “Harga sedan dibawah Rp 100 juta tiap unit,” kata Suhaelly, dalam acara peluncuran mobil Geely CK CKD (completely knock down), Jakarta (16/5).

Suhaelly mengaku, terjun ke bisnis otomotif bukanlah yang pertama kali. Puluhan tahun, katanya, dia sudah terlibat dalam perusahaan otomotif. Keluarga Kalla memiliki perusahaan distribusi otomotif dengan bendera NV Hadji Kalla.

Hubungan darah dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kata Suhaelly, tak otomatis dirinya mendapat perlakuan khusus. Hal ini diamini oleh Direktur Jenderal Industri Alat Transportasi dan Telematika Departemen Prindustrian Budi Dharmadi. “Tidak ada perlakukan khusus. Hanya mendapat insentif sesuai Peratusan Pemerintah Nomor 1 Tahun2007,” ujar Budi di tempat yang sama.

Peraturan tersebut mengatur fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman untuk penanaman modal dibidang usaha tertentu. PT IGC Coorporation yang ditunjuk sebagai agen tunggal mobil Geely, berdiri tahun ini sebagai usaha patungan antara Indonesia, Malaysia dan Cina.

Hingga kini, IGC masih memproses dealer (agen penjual) yang ditunjuk untuk Geely. Secara resmi Geely CK CKD akan diluncurkan ke pasar Indonesia pada Juli ini dengan fokus wilayah Jakarta dan sekitarnya serta Jawa Barat. Target penjualan pada 2007 sebanyak 2.000 unit.

Bisnis Mobil Kayu Pak Marsa'ad



Jakarta - Hampir semua bocah laki-laki menyukai mainan mobil-mobilan. Siapa sangka jika hampir semua mainan mobil-mobilan kayu yang dijual di pasar DKI Jakarta, merupakan hasil kerajinan tangan pabrik U.D Senang Anak milik Pak Marsa'ad.

"Saya mulai usaha ini tahun 1977. Awalnya iseng-iseng karena kerjaan saya sebelumnya bangkrut," ujar Marsa'ad ketika ditemui detikFinance di tokonya, Kalibata, Jakarta, Minggu (3/8/2008).

Inspirasi pria berusia 57 tahun ini datang dari keinginannya untuk membuat usaha yang dapat menyenangkan anak-anak.

"Saya pikir, siapa sih yang tidak suka mainan mobil-mobilan," ujar Marsa'ad.

Dengan modal sekedarnya, pengusaha yang memiliki nama asli Umar ini mulai membuka usaha ini. Ia kemudian bekerja sama dengan pemilik lahan di Kalibata untuk membuka toko disana.

"Jadi saya kerjasama dengan pemilik lahan. Dia sediakan lahan, saya produknya. Sistem pembagiannya dengan bagi hasil," jelas Marsa'ad.

Pabrik mainan ini terletak di wilayah Karawang. Pabriknya pun bukan pabrik besar dengan teknologi canggih, melainkan pabrik industri rumahan.

"Jadi di Karawang, saya menerapkan sistem pesan borongan pada pabrik-pabrik rumahan disana," ujar Marsa'ad.

Sistem pesan borongan yang dimaksud Marsa'ad adalah sistem beli berdasarkan unit, dan pembayaran dilakukan berdasarkan jumlah unit yang dibuat. Dalam terminologi modern, sistem beli putus ala pak Marsa'ad ini mirip dengan sistem outsourcing.

"Karena kalau pakai sistem gaji agak repot. Kalau mereka lagi malas, hasil unitnya sedikit, saya tetap harus menggaji mereka," jelas Marsa'ad.

Mekanisme produksi yang tidak terintegrasi inilah yang dipertahankan oleh Marsa'ad selama 30 tahun lebih. Dalam perjalanannya, rupanya dengan mekanisme seperti itu, usaha pak Marsa'ad pernah mengalami kejayaan.

"Jumlah pengrajin kami pernah mencapai 200 orang. Ketika itu produksi sangat banyak sekali, bahkan sampai diekspor ke Belanda, Jerman, Australia dan Jepang," papar Marsa'ad.

Ketika itu pun produk kerajinan ala pak Marsa'ad ini dijual di berbagai kota di Indonesia seperti Bekasi, Bogor, Tangerang, Palembang, Cirebon hingga Semarang.

"Sampai sekarang pun sebenarnya permintaan masih sangat tinggi, namun tidak bisa kami penuhi karena pengrajin kami saat ini jumlahnya tinggal 40 orangan," ujar Marsa'ad.

Menurut pak Marsa'ad, kondisi ekonomi menjadi faktor utama yang menyebabkan penyusutan jumlah tenaga kerja pabriknya. Jika dulu U.D Senang Anak mampu memproduksi 37 tipe mobil-mobilan, kini berkurang separuh menjadi 18 tipe saja.

Penyusutan jumlah pengrajin juga memangkas produksi mainan mobil-mobilan menjadi maksimal 500 unit saja satu bulannya.

"Padahal, permintaan dari Belanda atau Jerman misalnya, mereka biasanya minta 200 unit sekaligus per negara," ujar Marsa'ad.

Masalah tenaga kerja rupanya cukup menghambat pengembangan usaha pak Marsa'ad. Sistem pabrik tidak terintegrasi yang telah berjalan selama 30 tahun lebih mulai dipertanyakan oleh pak Marsa'ad.

"Dengan keadaan seperti ini, saya berpikir untuk bikin pabrik. Namun modalnya cukup besar sekitar Rp 300-500 jutaan. Modal tersebut untuk membeli gudang, mesian dan sebagainya," ujar Marsa'ad.

Seandainya pabrik terintegrasi sudah terwujud, tentu masalah-masalah ketenagakerjaan dapat lebih dikendalikan. Apalagi menurut Pak Marsa'ad, dari segi permintaan jumlahnya sangat tinggi, jadi prospek usaha ini ke depan bukanlah suatu hal yang perlu dikhawatirkan.

"Buktinya, di tengah kenaikan BBM seperti ini, ketika kami menaikkan harga jual, permintaan tidak berkurang," ujar Marsa'ad.

Saat ini harga jual produk pak Marsa'ad berkisar antara Rp 35 ribu hingga Rp 175 ribu per unitnya. Modal yang dibutuhkan berkisar antara Rp 23 ribu hingga Rp 125 ribu per unit.

"Namun untuk bikin pabrik, kami terbentur modal. Ingin mengajukan ke bank, tapi kami tidak punya agunan. Lagipula bank juga tidak percaya dengan usaha ini," ujar Marsa'ad.

Meski memiliki pabrik masih menjadi impian, namun ia berharap dapat mewujudkan cita-citanya suatu hari nanti, entah dengan modal sendiri maupun bekerja sama dengan pemodal pihak luar.

Bisnis Mobil Bekas Lebih Menggiurkan

JAKARTA - Pada tahun ini, PT Tunas Finansindo Sarana (Tunas Finance) akan memfokuskan bisnisnya pada pembiayaan mobil bekas. Sebab, bisnis pembiayaan mobil bekas lebih menggiurkan, ketimbang mobil baru.

Menurut Direktur Utama Tunas Finance Halim Gunadi, net margin yang diperoleh dari bisnis mobil second bisa mencapai enam persen. Sedangkan pada mobil baru marginnya sangat kecil, hanya sekira 1,5 persen.

"Ini karena banyaknya pemainan dipembiayaan mobil baru. Belum lagi masalah Down Payment (DP),"� kata Halim, saat jumpa pers di Hotel Mulia, Jakarta, Rabu (9/1/2008).� �

Biasanya, cerita dia, pada pembiayaan mobil baru pemain akan menekan DP semurah mungkin. "Sehingga tidak menguntungkan bagi industri pembiayaan," ujarnya. �

Saat ini porsi pembiayaan mobil bekas mencapai 50 persen, mobil baru sekira 40 persen, dan motor 10 persen.